Norma adalah memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan
bertindak secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar bagi penilaian
mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.
- Norma Sopan santun atau Norma Etiket, yaitu adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah dalam pergaulan sehari-hari. Etika tidak sama dengan Etiket. Etiket hanya menyangkut perilaku lahiriah yang menyangkut sopan santun atau tata krama
- Norma Hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Norma hukum ini mencerminkan harapan, keinginan dan keyakinan seluruh anggota masyarakat tersebut tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik dan bagaimana masyarakat tersebut harus diatur secara baik
- Norma Moral, yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia. Norma moral ini menyangkut aturan tentang baik buruknya, adil tidaknya tindakan dan perilaku manusia sejauh ia dilihat sebagai manusia.
norma umum dalam kaitannya hubungan dengan berbisnis
adalah suatu pedoman bagi para pelaku bisnis untuk melakukan bisnis sesuai
dengan prinsip yang dipegang oleh lingkungan di mana bisnis itu dilakukan.
mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan dan mencemari lingkungan adalah
salah satu kegiatan yang sangat melanggar norma umum secara universal. setiap
manusia memiliki hak yang sama untuk menikmati kekayaan alam, namun tak juga
hak tersebut dapat ‘dirampas’ oleh segelintir orang yang mempunyai kepentingan
bisnis, dan memperkaya hak nya.
Contoh kasus :
Pertambangan
adalah salah satu jenis kegiatan yang mengekstraksi mineral dan bahan tambang
lainnya dari dalam perut bumi. Metode penambangan, termasuk penambangan timah (alluvial
mining), di wilayah daratan yang umum diterapkan adalah tambang terbuka (surface
mining), bukan tambang bawah tanah/tambang dalam (underground mining).
Sistem operasionalnya berbeda dengan di wilayah lepas pantai.
Karena
menggunakan pompa semprot (gravel pump), maka penambangan timah darat
menghasilkan wilayah sungai besar yang disebut kolong atau danau. Kolong atau
danau menjadi inti utama cara kerjanya, polanya sangat tergantung pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya air yang banyak. Walhasil, penambangan timah darat
selalu menimbulkan genangan air yang berjumlah besar seperti danau dan
berlobang besar.
Celakanya,
proses pengambilan material yang diekstraksi dari dalam perut bumi itu memiliki
kesamaan di hampir semua provinsi di Indonesia, yang tentu saja bersinggungan
dengan kerusakan lingkungan, yaitu areal penambangan juga merambah kawasan
hutan produksi atau kawasan hutan lindung, debu yang menggumpal, reklamasi
lahan pascatambang, air tambang beserta limbahnya.
“Masalah
penambangan di beberapa provinsi penghasil ternyata mirip-mirip,” demikian
ditegaskan Bambang Soesilo, Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
merujuk isu penambangan di Kepulauan Bangka Belitung Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Ia bersama
beberapa anggota Komite II DPD menggelar konferensi pers menyoal pengusahaan
pertambangan timah, khususnya di Kepulauan Bangka Belitung, di Pressroom DPD
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/5).
Mereka juga
menyoal produksi penambangan timah di wilayah Kuasa Pertambangan (KP)
perusahaan yang dilaksanakan oleh kontraktor swasta sebagai mitra usaha di
bawah kendali perusahaan tertentu. Oleh karena itu, mereka mendesak penegakan
hukum terhadap pengusahaan pertambangan timah yang ilegal dan tidak mereklamasi
kawasan hutan bekas areal tambang. Anggota yang berpartisipasi, antara lain,
Bahar Buasan (Kepulauan Bangka Belitung), Budi Doku (Gorontalo), dan Gusti
Kanjeng Ratu Ayu Koess Indriyah (Jawa Tengah).
Kesimpulan
tersebut didasari laporan kegiatan anggota DPD di provinsi masing-masing
ditambah kunjungan Komite II DPD ke daerah-daerah penghasil pertambangan timah
dan batubara yang mereklamasi kawasan hutan. Bambang menyinggung pengusahaan
pertambangan timah yang dilakukan di kawasan hutan, bahkan di areal hutan
lindung, terutama kegiatan yang tidak memiliki izin.
Selain itu,
bagaimana produksi penambangan darat di wilayah KP perusahaan dilaksanakan oleh
kontraktor swasta yang merupakan mitra usaha di bawah kendali perusahaan
seperti PT Timah (Persero) Tbk. Lalu, bagaimana setiap kontraktor atau mitra
usaha melakukan kegiatan berdasarkan perencanaan yang diberikan oleh perusahaan
dan mengarahkannya agar sesuai dengan pedoman atau prosedur pengelolaan
lingkungan di lapangan.
Kemudian,
hasil produksi mitra usaha tersebut dibeli oleh perusahaan sesuai harga yang
disepakati dalam surat perjanjian kerjasama. Untuk kasus di Kepulauan Bangka
Belitung, hampir 80% dari total produksi PT Timah (Persero) Tbk berasal dari
penambangan di darat mulai tambang skala kecil berkapasitas 20 m³/jam sampai
tambang skala besar berkapasitas 100 m³/jam.
Untuk
mengatasi kasus-kasus pengusahaan pertambangan timah tersebut, Komite II DPD
menghimbau Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan tidak hanya marah-marah
menyikapinya. “Hari-hari ini Menhut marah-marah karena kasus pertambangan di
Bangka Belitung. Kami mengingatkan, Pak Menteri jangan hanya marah-marah, jangan
hanya rame-rame di koran tanpa solusi.”
“Ia pun
jangan hanya menangkap cukong-cukong. Kalau cukong-cukong yang dimaksud adalah
penerima KP, ini tidak fair sekali.” Jika serius, Menhut harus mencabut izin
usaha pertambangan yang enggan melakukan reklamasi, apakah yang dikeluarkan
bupati atau gubernur. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, bupati bisa mengeluarkan KP hingga 5.000 hektar.
Anggota DPD
asal Kalimantan Timur ini mendesak penghentian menggunakan kawasan hutan
lindung sebagai wilayah kegiatan pertambangan, terutama yang tidak memiliki
izin, mengingat fungsi kawasan hutan lindung sebagai penyangga kehidupan yang
sangat penting. Di antaranya, mengatur tata air dan mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Komite II
DPD mendesak penindakan yang tegas terhadap kegiatan penambangan yang ilegal
dan tidak mereklamasi lahan bekas penambangan. “Yang membentuk mata rantai
bisnis yang merugikan perekonomian masyarakat sekitarnya,” katanya. Penambangan
ilegal yang memarak adalah tanggungjawab pemerintah pusat, pemerintah daerah,
dan perusahaan pertambangan seperti PT Timah (Persero) Tbk yang tidak menjamin
hidup masyarakat di sekitarnya.
Sembari
mencabut izin usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan kawasan hutan
lindung, Pemerintah menata ulang izin KP yang memperhatikan prinsip otonomi
daerah dan peraturan perundang-undangan serta mengembalikan hak-hak tenurial
(penguasaan) sumberdaya alam yang mempertimbangkan kearifan lokal.
Kemudian,
perusahaan pertambangan yang selesai melakukan kegiatannya dapat mengembalikan
fungsi hutan. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menyebutkan, reklamasi kawasan hutan bekas areal pertambangan wajib
dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan
pertambangan.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008, reklamasi hutan adalah usaha untuk
memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar
dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Apalagi, ada
ketentuan PP tersebut yang merisaukan, yaitu Pasal 49 ayat (4) yang mengatur
tata cara pelepasan dana jaminan reklamasi. “Istilahnya, pinjam pakai. Selesai
digunakan, hutan dikembalikan sesuai dengan fungsinya,” katanya.
Pengusahaan
pertambangan yang, antara lain, berbentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk
perusahaan pertambangan berskala besar yang polanya adalah pertambangan terbuka
kian mempercepat deforestasi di provinsi-provinsi tersebut. Umumnya, hutan
bekas lahan pertambangan terbuka itu sangat rusak, sehingga pemulihannya juga
sangat sulit.
“Lalu, dana
reklamasi digunakan ke mana?” tanya lelaki kelahiran Banyuwangi, 24 September
1962, ini. Karena ketidakjelasan reklamasi kawasan hutan bekas areal
pertambangan itu, ia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan
Agung (Kejagung), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk
menyelidiki dan menyidiki penggunaan dana reklamasinya. “Kami mendesak KPK untuk
menanyakan dana itu,” ujarnya. Pengembalian kawasan hutan bekas areal
pertambangan ini sangat bergantung kepada keberhasilan reklamasinya.
Di sisi
lain, Kementerian Kehutanan didesak tidak lagi mengeluarkan izin pemanfaatan
kawasan hutan di luar sektor kehutanan yang diajukan perusahaan dan pemerintah
daerah. Dia berpendapat, program reklamasi hutan oleh perusahaan pertambangan
hingga kini tidak jelas pelaksanaannya, sehingga yang tertinggal adalah
daerah-daerah tandus. Reklamasi tidak bagus, reboisasi juga tidak bagus.”
Khusus kasus
pertambangan di Bangka Belitung yang melibatkan PT Timah (Persero) Tbk, KPK
juga didesak menyelidiki dan menyidiki penggunaan dana jaminan reklamasinya.
“Padahal, PT Timah sudah bercokol di sana sejak kita belum lahir,” kata lulusan
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, ini. “Dengan adanya PT Timah di
sana selama bertahun-tahun, muncul ketidakadilan.”
Bambang juga
menyoroti saling klaim areal pertambangan antara PT Timah (Persero) Tbk dengan
perusahaan-perusahaan yang kuasa penambangan atau KP-nya dikeluarkan bupati di
Bangka Belitung. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang belum selesai adalah
kesempatan bagi mereka.“PT Timah mencaplok kawasan hutan lindung, bersama
perusahaan pertambangan yang KP-nya dikeluarkan bupati.”
Bahar
menambahkan, ketimbang menyesali kerusakan lingkungan, lebih baik kita mencari
sumber-sumber perekonomian alternatif pascatimah. “Kerusakan lingkungan harus
dicegah. Tapi, mulai sekarang kita harus berbicara bagaimana membangun ekonomi
alternatif pascatimah. Harus ada solusi, jangan ribut saja,” ujarnya.
Mengalihkan perhatian menuju perekonomian alternatif dimaksud adalah menggali
potensi sektor pertanian dan perkebunan, perikanan dan kelautan, serta
pariwisata.
Karena
mengkhawatirkan kerusakan kawasan hutan lindung, Komite II DPD memutuskan untuk
membentuk tim khusus untuk mengawasi pertambangan yang merusak lingkungan.
“Dalam waktu dekat tim tersebut akan terjun ke lokasi penambangan timah di
Bangka Belitung, yang lingkungannya rusak parah,” katanya. Saat ini, tim khusus
mengumpulkan informasi kerusakan lingkungan agar saat tim khusus berkerja
efektif dan efisien.
Menteri-menteri
terkait, seperti Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menhut, Menteri
Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH), Menteri Keuangan (Menkeu), bersama bupati,
walikota, dan gubernur di Bangka Belitung harus mencarikan alternatif
sumber-sumber perekonomian pasca-pertambangan. “Kalau terus-terusan ditambang,
Bangka Belitung bisa tenggelam. Mereka harus satu meja mencari alternatif,
misalnya perikanan, kelautan, pertanian, perkebunan, pariwisata.”
Budi Doku
mengatakan, pihaknya akan meneliti kepastian luas (hektar) Kuasa Penambangan
(KP) yang dimiliki PT Timah, PT Koba Tin, dan beberapa perusahaan pemegang KP
lainnya agar diperoleh kepastian jumlah dana jaminan reklamasi yang seharusnya
digunakan untuk merehabilitasi lahan eks pertambangan. “Kemana dananya, kok
lingkungan rusak seperti itu?” tanyanya.
“Masalah
dana ini menarik untuk ditelusuri. Karena itu, kalau datanya cukup, kami akan
mengundang Kapolri dan KPK untuk membahasnya,” tegasnya, seraya menekankan
masalah lain yang juga harus disorot, yaitu informasi perihal uang keluar dari
Bangka Belitung Rp 10 miliar per bulan. Uang itu berasal dari aktivitas
penyelundupan timah.
Menurut
Bambang, kerusakan hutan di Bangka Belitung tidak terlepas dari ketidakjelasan
RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi). Untuk itu, Komite II DPD mendesak
pemerintah pusat dan pemerintah daerah segera merampungkannya. “RTRWP itu cetak
biru. Selain berguna untuk pembangunan, RTRWP ini menjadi panduan wilayah mana
yang tidak boleh diganggu dan mana yang boleh.”
ashur.staff.gunadarma.ac.id/.../Teori-Teori+Etika+Bisnis.ppt