Bab I
PENDAHULUAN
Definisi Sistem
Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan merupakan tata laksana ekonomi yang
bersifat kerakyatan yaitu penyelenggaraan ekonomi yang memberi dampak kepada
kesejahteraan rakyat kecil dan kemajuan ekonomi rakyat yaitu keseluruhan
aktivitas perekonomian yang dilakukan oleh rakyat kecil. Ekonomi kerakyatan
lebih menunjuk pada sila ke-4 Pancasila, yang menekankan pada sifat demokratis
sistem ekonomi Indonesia. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia, produksi tidak
hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan
hasilnya dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata
(penjelasan pasal 33 UUD 1945).Ekonomi rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi
nasional di masa depan, dan sistem ekonomi Pancasila merupakan aturan main bagi
semua perilaku ekonomi di semua bidang kegiatan ekonomi.Sistem ekonomi
kerakyatan adalah sistem Ekonomi Nasional yang berasas kekeluargaan,
berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh
pada ekonomi rakyat . Dalam ekonomi kerakyatan ini kemakmuran rakyat lebih
diutamakan daripada kemakmuran orang per orang Ekonomi Kerakyatan adalah
merupakan sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat di bidang ekonomi. Ekonomi Kerakyatan memiliki prinsip bahwa
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, selain
itu ekonomi kerakyatan juga menginginkan kemakmuran rakyat. Sistem Ekonomi
kerakyatan memiliki fungsi yang kuat dalam membantu masyarakat karena langsung
berhubungan dengan urat nadi kehidupan masyarakat. Sistem ekonomi kerakyatan perlu
lebih diberdayakan agar mampu menjadi salah satu mesin bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat dan sekaligus alat ampuh untuk lebih memeratakan pembangunan sejalan dengan program pengentasan
kemiskinan. Sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia memang masih belum
terlaksana dengan baik. Oleh karena itu pemerintah mengupayakan untuk mendirikan
koperasi sebagai wadah dalam memperlancar perekonomian rakyat. Sebenarnya,
ekonomi kerakyatan merupakan symbol dari suatu system yang memiliki dampak
terhadap perilaku ekonomi yang memang masih rendah dan memang layak untuk mendapatkan
prioritas utama penanganan pemerintah. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi
dari perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan.
Syarat mutlak
berjalannya sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial
·
berdaulat di bidang politik
·
mandiri di bidang ekonomi
·
berkepribadian di bidang budaya
Yang mendasari
paradigma pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial
·
penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala
bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi
·
pendekatan pembangunan berkelanjutan yang
multidisipliner dan multikultural
·
pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran
ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
Sekilas tentang
Sistem Ekonomi Kerakyatan
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel
berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya
(Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat
sebagai berikut:
“Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama
sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)”
Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada
ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak
dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana
bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang artinya tidak
lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem)
ekonomi yang demokratis.
Tujuan yang
diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
·
Membangun Negara yang berdikiari secara ekonomi,
berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
·
Mendorong pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan
·
Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
·
Meningkatkan efisiensi perekonomian secara
nasional
LIMA HAL POKOK YANG HARUS SEGERA DIPERJUANGKAN AGAR SISTEM
EKONOMI KERAKYATAN TIDAK HANYA MENJADI WACANA SAJA
·
Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan
tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala
bentuknya
·
Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan
mekanisme persaingan yang berkeadilan (fair competition)
·
Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan
negara kepada pemerintah daerah
·
Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan
pertanian kepada petani penggarap
·
Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian
koperasi-koperasi “ sejati” dalam berbagai bidan usaha dan kegiatan. Yang perlu
dicermati, peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan
tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi
Bab II
PEMBAHASAN
Pengertian Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada
kekuatan ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan
ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan
secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan
dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM)
terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang
ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa
harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi
kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat
local dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan
berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola
lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan
ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti
perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan
alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi
tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya
hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya
sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan
masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif
dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh
negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan.
Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara
kawasan Eropa ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang
berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati
sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan
bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan
itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan
sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan
berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi
pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada
manusia pelakunya.
Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai
kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Dari pernyataan tersebut
jelas sekali bahwa konsep, ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya untuk
lebih mengedepankan masyarakat. Dengan kata lain konsep ekonomi kerakyatan
dilakukan sebagai sebuah strategi untuk membangun kesejahteraan dengan lebih
mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Agar sistem ekonomi kerakyatan tidak
hanya berhenti pada tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan
harus segera diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi
kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut merupakan
inti dari poitik ekonomi kerakyatan dan menjadi titik masuk ( entry point) bagi
terselenggarakannya system ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang = Peningkatan
disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya; Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan
mekanisme ; persaingan yang berkeadilan ( fair competition) ; Peningkatan
alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.; Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan
pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian
koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Yang perlu
dicermati peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan
tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi.
Artinya, peningkatan kesejahteraan tak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah
pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan
pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera
peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan
ekonomi rakyat.
Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan
strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua
untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka
kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program
pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling
kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan
jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal. Yang menjadi
masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat
komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi
terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi
kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan
ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik.
Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat.
Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian pratana sosial
politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik
untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi
kebutuhan pembangunan rakyat.
Peranan Koperasi
dalam Ekonomi Kerakyatan
Bisa dilihat dari penjabaran yang lebih terperinci mengenai
Pengertian Koperasi di Indonesia ( lihat Anonim,1989). Pengertianya adalah
sebagai berikut :Koperasi didirikan atas dasar adanya kesamaan kebutuhan
diantara para anggotanya, Kebutuhan yang sama ini lalu diusahakan pemenuhnya
melalui pembentukan perusahaan. Dengan adanya perusahaan yang dimilki secara
bersama-sama, maka diharapkan kebutuhan itu dapat dipenuhi dengan cara yang
lebih baik disbanding dengan dilakukan oleh masing-masing anggota secara
perorangan.Koperasi didirikan atas dasar kesadaran mengenai keterbatasan
kemampuan. Oleh karena itu dipandang perlu untuk menyatukan diri demi kepentingan
bersama yang lebih besar. Usaha itu dilandasi oleh suatu cita-cita yang luhur
untuk menolong diri sendiri atas dasar keyakinan akan harga diri, kesadaran
pribadi serta rasa setia kawan. Koperasi didirikan atas dasar kesukarelaan dan
keterbukaan, tidak boleh ada paksaan.
Prinsip-prinsip
ekonomi kerakyatan itu seluruhnya terkandung dalam
Koperasi.Dalam konteks ekonomi kerakyatakan atau demokrasi ekonomi, kegiatan
produksi dan konsumsi dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat,
sedangkan pengelolaannya di bawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat
sendiri. Prinsip demokrasi ekonomi tersebut hanya dapat diimplementasikan dalam
wadah koperasi yang berasaskan kekeluargaan. Hal ini menunjukan bahwa Koperasi
memiliki peranan dalam Ekonomi Keakyatan karena Koperasi merupakan bentuk
perusahan, satu-satunya bentuk perusahaan yang sesuai dengan Ekonomi
Kerakyatan.
Ciri
Sistem Ekonomi Kerakyatan Menurut San Afri Awang, sistem ekonomi
kerakyatan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Peranan vital negara (pemerintah). Sebagaimana ditegaskan dalam
pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara memainkan peranan yang sangat penting
dalam sistem ekonomi kerakyatan. Peranan negara tidak hanya terbatas sebagai
pengatur jalannya roda perekonomian. Melalui pendirian Badan-badan Usaha Milik
Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, negara dapat terlibat
secara langsung dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan ekonomi tersebut.
Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih
diutamakan daripada kemakmuran orang seorang, dan agar tampuk produksi tidak
jatuh ke tangan orang seorang, sehingga memungkinkan ditindasnya rakyat banyak
oleh segelintir orang yang berkuasa.
2. Efisiensi ekonomi berdasar atas keadilan, partisipasi, dan
keberlanjutan. Tidak benar jika dikatakan bahwa sistem ekonomi kerakyatan
cenderung mengabaikan efisiensi dan bersifat antipasar. Efisiensi dalam sistem
ekonomi kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka pendek dan
berdimensi keuangan, melainkan dipahami secara komprehensif dalam arti
memperhatikan baik aspek kualitatif dan kuantitatif, keuangan dan non-keuangan,
maupun aspek kelestarian lingkungan. Politik ekonomi kerakyatan memang tidak
didasarkan atas pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas, melainkan atas
keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan.
3. Mekanisme alokasi melalui perencanaan pemerintah, mekanisme
pasar, dan kerja sama (cooperatif). Mekanisme alokasi dalam sistem ekonomi
kerakyatan, kecuali untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetap didasarkan atas mekanisme pasar.
Tetapi mekanisme pasar bukan satu-satunya. Selain melalui mekanisme pasar,
alokasi juga didorong untuk diselenggarakan melalui mekanisme usaha bersama
(koperasi). Mekanisme pasar dan koperasi dapat diibaratkan seperti dua sisi
dari sekeping mata uang yang sama dalam mekanisme alokasi sistem ekonomi
kerakyatan.
4. Pemerataan penguasaan faktor produksi. Dalam rangka itu,
sejalan dengan amanat penjelasan pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan pasar dan
koperasi dalam sistem ekonomi kerakyatan harus dilakukan dengan terus menerus
melakukan penataan kelembagaan, yaitu dengan cara memeratakan penguasaan modal
atau faktor-faktor
Substansi
Sistem Ekonomi Kerakyatan
Berdasarkan bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945,
dapat dirumuskan perihal substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya
mencakup tiga hal sebagai berikut.
1. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan
produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses
pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam
sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan
seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk
memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil
produksi nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang
menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusian.”
2. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati
hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada
jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi
nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara
lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dengan kata lain, dalam rangka
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem
jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia.
3. Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi
nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota
masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi,
anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap
anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi.
Dengan demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat
dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu
harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat.
Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh
anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi
nasional. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material
(material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual
capital) dan modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi
logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara
terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis
modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Negara wajib menjalankan misi demokratisasi
modal melalui berbagai upaya sebagai berikut:
4. Demokratisasi modal material; negara tidak hanya wajib mengakui
dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib
memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika
ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal
material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak
terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.
5. Demokratisasi modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan
pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan
atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung
dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak
swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak
menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan
pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
6. Demokratisasi modal institusional; tidak ada keraguan sedikit
pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat
untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu
diatur dalam Pasal 28 UUD 1945,
“Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan anggota
masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu
tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi
pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi
negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk serikat-serikat
ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha
kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi
lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Tujuan dan
Sasaran Sistem Ekonomi Kerakyatan
Bertolak dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa tujuan utama
penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui peningkatan kemampuan
masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian. Bila tujuan utama
ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran pokok ekonomi
kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal berikut:
1. Tersedianya peluang
kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat.
2. Terselenggaranya
sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir
miskin dan anak-anak terlantar.
3. Terdistribusikannya
kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat.
4. Terselenggaranya
pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
5. Terjaminnya
kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota
serikat-serikat ekonomi.
Contoh
Kasus Indonesia
Relatif masih kecilnya sumbangan UKM, termasuk di dalamnya IKM,
pada PBD umumnya dan pada nilai ekspornya khususnya disebabkan oleh sejumlah
kelemahan yang dimiliki sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja ini.
Sebagaimana dilaporkan OECD (2002), kelemahan utama industri kecil dan menengah
(IKM) di Indonesia mencakup aspek berikut: (i) orientasi pasar; (ii) kualitas
sumberdaya manusia; (iii) penguasaan teknologi; (iv) akses pasar; dan (v)
permodalan.
Soetrisno (2003) menyatakan bahwa koperasi merupakan salah satu
pilihan bentuk organisasi ekonomi dalam menghadapi era globalisasi. Alasannya
adalah karena koperasi sejak kelahirannya disadari sebagai suatu upaya untuk
menolong diri sendiri secara bersama-sama yang didasari oleh prinsip “self help
and cooperation.” Sejalan dengan pernyataan di atas, koperasi dipandang memilik
peranan strategis dalam perekonomian Indonesia, antara lain, karena tiga bentuk
eksistensi koperasi (Krisnamurthi, 2002). Ketiga bentuk eksistensi dimaksud,
menurut Krisnamurthi (2002) menyitasi PSP-IPB (199), adalah: (i) koperasi
dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan
kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat; (ii) koperasi telah menjadi
alternatif bagi lembaga usaha lain; dan (iii) koperasi menjadi organisasi yang
dimiliki oleh anggotanya.
Tentang pentingnya peranan koperasi dalam perekonomian Indonesia,
lebih jauh Hariyono (2003) menegaskan bahwa koperasi di Indonesia, yang
pendiriannya dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan lembaga
kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya yakni memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.
Dapat disimpulkan bahwa koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah merupakan bentuk pengejawantahan ekonomi kerakyatan—sistem
perekonomian yang lebih mementingkat kesejahteraan dan kemakmuran orang banyak
bukan orangper orang. Kedue bentuk organisasi ekonomi ini, selain merupakan
konstituen system ekonomi kerakyatan, juga merupakan bentuk organisasi ekonomi
yang cocok bagi karakteristik bangsa Indonesia yang, menurut Hariyono (2003),
lebih bersifat “homo societas” daripada “homo economicus” yakni lebih
mengutamakan hubungan antarmanusia daripada kepentingan ekonomi atau materi.
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: Beberapa Kelemahan
dan Hambatan Baik koperasi maupun usaha mikro, kecil, dan menengah, dilihat
dari definisi dan ruang lingkup serta karakteristik anggotanya yakni kecil
ruang lingkup usahanya dan anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan
modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga terbatas, memiliki sejumlah
hambatan dalam upaya memainkan perannya dalam “kancah” perekonomian nasional.
Kelemahan yang dimiliki oleh usaha mikro, kecil, dan menengah,
erat kaitannya dengan karakteristik yang dimilikinya. Menurut Afiah (2009),
usaha mikro, kecil, dan menengah secara umum memiliki karakteristik berikut:
(i) manajemen berdiri sendiri, dengan perkataan lain, tidak ada pemisahan yang
tegas antara pemilik dan pengelola perusahaan; (ii) pemilik biasanya juga
berperan sebagai pengelola; (iii) modal umumnya disediakan oleh seorang pemilik
atau sekelompok kecil pemilik modal; (iv) daerah operasinya umumnya lokal,
walaupun adanya sejumlah kecil UMKM yang memiliki orientasi lebih luas bahkan
beroreintasi ekspor; (v) ukuran perusahaan (firm size), baik dari segi total
aset, jumlah karyawan maupun sarana prasarana relatif kecil. Seiring dengan
karakteristiknya yang spesifik tersebut, usaha mikro, kecil, dan menengah
memiliki beberapa kelemahan (weaknesses).
Kelemahan dimaksud, menurut Afiah (2009) dan Kuncoro (2000)
adalah: (i) kekurangmampuan dalam menangkap peluang pasar yang ada dan dalam
memperluas pangsa pasar; (ii) kekurangmampuan dan keterbatasan dalam mengakses
sumber dana (modal) dan kelemahan dalam struktur permodalan; (iii) rendahnya
kemampuan dalam bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia; (iv)
keterbatasan jaringan usaha kerjasama antarpelaku usaha mikro, kecil, dan
menengah; (v) berkaitan dengan kelamahan butir (v) adalah terciptanya iklim
usaha yang kurang kondusif, karena cenderung berkembang kea rah persaingan yang
saling mematikan; (vi) program pembinaan yang dilakukan masih kurang terpadu;
dan (vii) kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha
mikro, kecil, dan menengah.
Baik Afiah (2009) maupun Kuncoro (2000) bersepakat bahwa
kelemahan-kelemahan yang bersifat struktural di atas dapat diatasi dan akan
menjadi sumber kekuatan, jika diadakan perbaikan-perbaikan dalam struktur
organisasi. Mendukung pendapat kedua peneliti tersebut, Dipta (2007) dan
Kumorotomo (2008) menyatakan bahwa pemerintah menyadari bahwa upaya
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan
bagian penting dari upaya mewujudkan bangsa yang berdaya-saing serta
menciptakan embangunan yang merata dan adil. Lebih jauh Kumorotomo (2008)
menjelaskan bahwa langkah pertama dalam upaya mengonversikan kelemahan menjadi
kekuatan adalah dengan mengubah asumsi yang memandang koperasi dan UMKM sebagai
lembaga usaha yang berskala terlalu kecil untuk diperhatikan, lemah,
terbelakang, dan, dengan sendirinya, patut dikasihani. Oleh karena itu, menurut
Dipta (2008), program-program pemberdayaan tidak dikemas seperti program
charity, yang menganggap bahwa anggaran yang dikeluarkan semata-mata merupakan
alokasi dana sosial tanpa upaya untuk meningkatkan kemandirian dan kedewasaan
berpikir para pelaku usaha tersebut.
Tidak berbeda dengan usaha mikro, kecil, dan menengah, koperasi
juga memiliki sejumlah kelemahan. Tiga di antaranya yang paling menonjol,
menurut Partomo (2004), adalah: (i) modal anggota yang relatif sedikit dan
lemah dalam pengelolaannya; (ii) kualitas sumberdaya manusia yang mengelola
koperasi yang relatif rendah (kemampuan manajemen yang masih rendah); (iii)
kurang terjalinnya kerjasama, baik antar-pengurus, antar-anggota, antara
pengurus dan Pengawas maupun antara pengurus dan anggota; dan (iv) proses pengambilan
putusan yang bersifat demokratis cenderung menghasilkan putusan yang kurang
efisien. Berkaitan dengan keempat kelemahan koperasi di atas, Widiyanto (1996),
sebagaimana disitasi oleh Tambunan (2008), menemukan bahwa pada umumnya
koperasi di Indonesia tidak memiliki daya saing dan dilihat dari posisi
bisnisnya sebagian besar koperasi berada pada posisi “bertahan” dan cenderung
ke arah “lemah.” Secara lebih lengkap karakteristik koperasi di Indonesia
disajikan dalam tabel berikut.
Beberapa
Alternatif Langkah ke Depan
Bertolak dari sejumlah kelemahan yang dimiliki baik oleh koperasi
maupun usaha mikro, kecil, dan menengah, sebagaimana dijelaskan pada bagian
sebelumnya, sejumlah alternatif langkah dapat ditawarkan untuk mengatasinya.
Secara garis besar, langkah yang perlu diambil untuk lebih memberdayakan
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, menurut Suarja (2007) adalah:
(i) revitalisasi peran koperasi dan perkuatan posisi usaha mikro, kecil, dan
menengah dalam system perkonomian nasional; (ii) memperbaiki akses koperasi dan
usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap permodalan, teknologi, informasi, dan
pasar serta memperbaiki iklim usaha; (iii) mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya pembangunan; dan (iv) mengembangkan potensi sumberdaya lokal. Secara
lebih teknis, Dipta (2007) menawarkan pendekatan 3C, yakni competition
(persaingan—dalam bentuk system informasi terbuka, sistem legal, model bisnis
yang dinamis, dan penguatan kapasitas pengurus/manajer), cooperation
(kerjasama—dalam bentuk kerjasama selektif, pendidikan dalam
penyusunan/perubahan model bisnis, dan kemitraan dengan public dan perguruan
tinggi), dan concentration (konsentrasi—dalam bentuk spesialisasi produk,
penentuan target produk).
Kedua pendekatan di atas lebih bersifat institusional atau
kelembagaan—dalam hal lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas
perkembangan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Dari sisi praktis, langkah yang perlu diambil dalam upaya memberdayakan
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, harus didasarkan pada kelemahan
yang ada. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan
hal yang pokok baik pada koperasi maupun maupun usaha mikro, kecil, dan
menengah. Program pelatihan dan pendampingan koperasi dan usaha mikro, kecil,
dan menengah yang bersifat terpadu dan berkesinambungan merupakan salah satu
pilihan terbaik. Namun, perlu ditekankan di sini bahwa aspek kemandirian harus
lebih diutamakan. Artinya, inisiatif pengadaan atau pelaksanaan program
pelatihan dan pendampingan harus berasal dari pihak pelaku usaha mikro, kecil,
dan menengah atau dari pihak pengurus dan anggota koperasi.
Langkah yang dapat dilakukan atau disumbangkan oleh pihak
perguruan tinggi untuk pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah bertolak dari fungsi dan tugasnya yang tercakup dalam tri darma
perguruan tinggi: pendidikan; penelitian; dan pengabdian kepada masyarakat.
Melalui ketiga kegiatan tersebut perguruan tinggi dapat melakukan banyak hal,
baik berupa pendidikan (pelatihan dan pendampingan), penelitian (dalam upaya
menganalisis pelbagai aspek tentang koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah) maupun program pengabdian kepada masyarakat, yang fokus utamanya
adalah koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan beragam aspek yang
berkaitan dengannya. Dengan pendekatan yang sistematis semua upaya yang
dilakukan akan lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan.
Sumber :
http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-sistem-ekonomi-kerakyatan.html#comment-form
http://www.slideshare.net/AriniNurmalaSari/sistem-ekonomi-kerakyatan-melalui-wadah-gerakan-koperasi-indonesia
http://h3r1y4d1.wordpress.com/2012/04/05/peranan-ekonomi-kerakyatan-sebagai-landasan-perekonomian-indonesia/