Selasa, 06 November 2012

Ekonomi di Indonesia


Indonesia negara kita adalah negara berkembang yang pastinya banyak permasalahan di dalamnya dari masalah sosial yang mencakup kemiskinan, tindak kriminal atau kejahatan dan perilaku yang menyimpang tidak sesuai aturan, tenaga kerja pengangguran dan kependudukan, serta pendidikan. Banyak yang perlu di benahi di Indonesia. Belum lagi masalah lingkungannya yang tercemar dan di Ibu Kotanya yang sering macet. Dan yang harus diwaspadai pula yaitu perekonomian di Indonesia. Uang keluar dan masuk dalam negri maupun luar negri. Masalah yang sedang banyak dibicarakan yaitu korupsi. Pembahasan di bawah akan dipaparkan mengenai sejarah ekonomi di Indonesia.

Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.


Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
  • Inflasi yang sangat tinggi
Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di masyarakat sebesar 4 milyar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa saja, diperkirakan sebesar 1,6 milyar. Jumlah itu kemudian bertambah ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan menguasai bank-bank.
Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3 milyar untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan mata-uang Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang diduduki Sekutu. Uang NICA ini dimaksudkan sebagai pengganti uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir memproses tindakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah RI, juga melakukan hal yang sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.
  • Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan blokade ini adalah:
1.     Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia;
2.     Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya;
3.     Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan Indonesia.
  • Kas negara kosong.
  • Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
  • Tanah pertanian rusak
1.     Tenaga kerja dijadikan romusha
2.     Tanah pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
  • Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
  • Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
  • Konferensi ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
  • Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
  • Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
  • Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan rencana produksi lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan, yang isinya
1.     Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
2.     Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
3.     Penanaman kembali tanah kosong
4.     Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 1-15 tahun.
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
  • Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
  • Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
  • Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
  • Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
  • Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
  • Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
  • Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
  • Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
  • Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
  • Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah:
  • Untuk memajukan pengusaha pribumi.
  • Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
  • Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
  • Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
  • Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
  • Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
  • Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
  • Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
  • Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
  • Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.

Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
  • Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
  • Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
  • Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
  • Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
  • Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
  • Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.

Orde Baru
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.
Pasca Suharto
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun [1] meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[2] oleh IMF dalam juta rupiah.
Tahun
PDB

1980
60,143.191

1985
112,969.792

1990
233,013.290

1995
502,249.558

2000
1,389,769.700

2005
2,678,664.096

2010
6,422,918.230


Referensi


Sumber : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar