Indonesia negara kita adalah negara berkembang yang pastinya banyak permasalahan
di dalamnya dari masalah sosial yang mencakup kemiskinan, tindak kriminal atau
kejahatan dan perilaku yang menyimpang tidak sesuai aturan, tenaga kerja
pengangguran dan kependudukan, serta pendidikan. Banyak yang perlu di benahi di
Indonesia. Belum lagi masalah lingkungannya yang tercemar dan di Ibu Kotanya
yang sering macet. Dan yang harus diwaspadai pula yaitu perekonomian di
Indonesia. Uang keluar dan masuk dalam negri maupun luar negri. Masalah yang
sedang banyak dibicarakan yaitu korupsi. Pembahasan di bawah akan dipaparkan
mengenai sejarah ekonomi di Indonesia.
Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah
memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan
menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai
pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta
melalui pengambilalihan pinjaman bank
tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan
hutang.
Masa Pasca
Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan
amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
- Inflasi yang sangat tinggi
Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang
beredar di masyarakat sebesar 4 milyar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di
Jawa saja, diperkirakan sebesar 1,6 milyar. Jumlah itu kemudian bertambah
ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan
menguasai bank-bank.
Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan
sebesar 2,3 milyar untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang
paling menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada
zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan
mata-uang Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang
pemerintah Hindia Belanda, dan mata
uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima
AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu)
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada
bulan Oktober 1946, pemerintah
RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang
Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter,
banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa
Indonesia, tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI yang
baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan berlakunya uang NICA di
daerah-daerah yang diduduki Sekutu. Uang NICA ini dimaksudkan sebagai pengganti
uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana
Menteri Syahrir memproses tindakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak
Sekutu telah melanggar persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum
ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang
baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah
RI, juga melakukan hal yang sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai
pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang
ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini
semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan
dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank negara
ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.
- Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini,
menutup pintu keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda
melakukan blokade ini adalah:
1. Untuk mencegah
dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia;
2. Mencegah
dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya;
3. Melindungi
bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan
Indonesia.
- Kas negara kosong.
- Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
- Tanah pertanian rusak
1. Tenaga kerja
dijadikan romusha
2. Tanah
pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
- Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
- Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
- Konferensi ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
- Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
- Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
- Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan rencana produksi lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan, yang isinya
1. Memperbanyak
kebun bibit dan padi unggul
2. Pencegahan
penyembelihan hewan pertanian
3. Penanaman
kembali tanah kosong
4. Pemindahan
penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka
waktu 1-15 tahun.
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum
berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya
pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering).
Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya
tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa
pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950
berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya
untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang
memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas.
Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah
mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar
Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi
Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha
pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat
sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri
perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial
menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya
adalah:
- Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
- Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet
Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3
tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan
kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan
baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini
disebabkan karena :
- Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
- Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
- Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
- Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
- Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
- Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber
defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar
rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar
rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit
khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah
sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat
menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir
tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai
pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini
menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta
melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank
sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi
Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq
Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari
program ini adalah:
- Untuk memajukan pengusaha pribumi.
- Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
- Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
- Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan
Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan
pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan
latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar
dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi
bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu
bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat
berjalan dengan baik sebab:
- Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
- Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
- Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Persaingan
Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim
delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara
pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal
7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
- Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
- Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
- Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani,
sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin
Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya
untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga,
tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang
pembatalan KMB. Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih
perusahaan Belanda tersebut.
Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat
singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan
ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya
pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program
jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan
membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang
Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda
diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun
1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran
dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan
karena :
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
- Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah
Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara
pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan
Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk
mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang
menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut
tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
- Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
- Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
- Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas
pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian
Barat mencapai konfrontasi bersenjata.
Orde Baru
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi
Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi
lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan
moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan
dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari
anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah
mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan
utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan
lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan
tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak
analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang
berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997
menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal
sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak,
mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman
berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran
peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh
perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik,
dan hambatan
ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda
Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah
menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap
masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan
naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat
kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF)
mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada
penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang
dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang
melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam
jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa
mengundurkan diri pada Mei 1998.
Pasca Suharto
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui
program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai
presiden pada Oktober 1999 kemudian
memperpanjang program tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh
pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun [1] meningkat lebih dari
100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia
adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara
anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk
Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[2] oleh IMF dalam juta
rupiah.
Tahun
|
PDB
|
|
1980
|
60,143.191
|
|
1985
|
112,969.792
|
|
1990
|
233,013.290
|
|
1995
|
502,249.558
|
|
2000
|
1,389,769.700
|
|
2005
|
2,678,664.096
|
|
2010
|
6,422,918.230
|
|
Referensi
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar