Minggu, 09 November 2014

Norma Umum dalam Bisnis



Norma adalah memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.
  1. Norma Sopan santun atau Norma Etiket, yaitu adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah dalam pergaulan sehari-hari. Etika tidak sama dengan Etiket. Etiket hanya menyangkut perilaku lahiriah yang menyangkut sopan santun atau tata krama
  2. Norma Hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Norma hukum ini mencerminkan  harapan, keinginan dan keyakinan seluruh anggota masyarakat tersebut tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik dan bagaimana masyarakat tersebut harus diatur secara baik
  3. Norma Moral, yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia. Norma moral ini menyangkut aturan tentang baik buruknya, adil tidaknya tindakan dan perilaku manusia sejauh ia dilihat sebagai manusia.
norma umum dalam kaitannya hubungan dengan berbisnis adalah suatu pedoman bagi para pelaku bisnis untuk melakukan bisnis sesuai dengan prinsip yang dipegang oleh lingkungan di mana bisnis itu dilakukan. mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan dan mencemari lingkungan adalah salah satu kegiatan yang sangat melanggar norma umum secara universal. setiap manusia memiliki hak yang sama untuk menikmati kekayaan alam, namun tak juga hak tersebut dapat ‘dirampas’ oleh segelintir orang yang mempunyai kepentingan bisnis, dan memperkaya hak nya.

Contoh kasus :


Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang mengekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam perut bumi. Metode penambangan, termasuk penambangan timah (alluvial mining), di wilayah daratan yang umum diterapkan adalah tambang terbuka (surface mining), bukan tambang bawah tanah/tambang dalam (underground mining). Sistem operasionalnya berbeda dengan di wilayah lepas pantai.
Karena menggunakan pompa semprot (gravel pump), maka penambangan timah darat menghasilkan wilayah sungai besar yang disebut kolong atau danau. Kolong atau danau menjadi inti utama cara kerjanya, polanya sangat tergantung pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air yang banyak. Walhasil, penambangan timah darat selalu menimbulkan genangan air yang berjumlah besar seperti danau dan berlobang besar.

Celakanya, proses pengambilan material yang diekstraksi dari dalam perut bumi itu memiliki kesamaan di hampir semua provinsi di Indonesia, yang tentu saja bersinggungan dengan kerusakan lingkungan, yaitu areal penambangan juga merambah kawasan hutan produksi atau kawasan hutan lindung, debu yang menggumpal, reklamasi lahan pascatambang, air tambang beserta limbahnya.
“Masalah penambangan di beberapa provinsi penghasil ternyata mirip-mirip,” demikian ditegaskan Bambang Soesilo, Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD), merujuk isu penambangan di Kepulauan Bangka Belitung Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Ia bersama beberapa anggota Komite II DPD menggelar konferensi pers menyoal pengusahaan pertambangan timah, khususnya di Kepulauan Bangka Belitung, di Pressroom DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/5).
Mereka juga menyoal produksi penambangan timah di wilayah Kuasa Pertambangan (KP) perusahaan yang dilaksanakan oleh kontraktor swasta sebagai mitra usaha di bawah kendali perusahaan tertentu. Oleh karena itu, mereka mendesak penegakan hukum terhadap pengusahaan pertambangan timah yang ilegal dan tidak mereklamasi kawasan hutan bekas areal tambang. Anggota yang berpartisipasi, antara lain, Bahar Buasan (Kepulauan Bangka Belitung), Budi Doku (Gorontalo), dan Gusti Kanjeng Ratu Ayu Koess Indriyah (Jawa Tengah).

Kesimpulan tersebut didasari laporan kegiatan anggota DPD di provinsi masing-masing ditambah kunjungan Komite II DPD ke daerah-daerah penghasil pertambangan timah dan batubara yang mereklamasi kawasan hutan. Bambang menyinggung pengusahaan pertambangan timah yang dilakukan di kawasan hutan, bahkan di areal hutan lindung, terutama kegiatan yang tidak memiliki izin.
Selain itu, bagaimana produksi penambangan darat di wilayah KP perusahaan dilaksanakan oleh kontraktor swasta yang merupakan mitra usaha di bawah kendali perusahaan seperti PT Timah (Persero) Tbk. Lalu, bagaimana setiap kontraktor atau mitra usaha melakukan kegiatan berdasarkan perencanaan yang diberikan oleh perusahaan dan mengarahkannya agar sesuai dengan pedoman atau prosedur pengelolaan lingkungan di lapangan.
Kemudian, hasil produksi mitra usaha tersebut dibeli oleh perusahaan sesuai harga yang disepakati dalam surat perjanjian kerjasama. Untuk kasus di Kepulauan Bangka Belitung, hampir 80% dari total produksi PT Timah (Persero) Tbk berasal dari penambangan di darat mulai tambang skala kecil berkapasitas 20 m³/jam sampai tambang skala besar berkapasitas 100 m³/jam.
Untuk mengatasi kasus-kasus pengusahaan pertambangan timah tersebut, Komite II DPD menghimbau Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan tidak hanya marah-marah menyikapinya. “Hari-hari ini Menhut marah-marah karena kasus pertambangan di Bangka Belitung. Kami mengingatkan, Pak Menteri jangan hanya marah-marah, jangan hanya rame-rame di koran tanpa solusi.”
“Ia pun jangan hanya menangkap cukong-cukong. Kalau cukong-cukong yang dimaksud adalah penerima KP, ini tidak fair sekali.” Jika serius, Menhut harus mencabut izin usaha pertambangan yang enggan melakukan reklamasi, apakah yang dikeluarkan bupati atau gubernur. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bupati bisa mengeluarkan KP hingga 5.000 hektar.

Anggota DPD asal Kalimantan Timur ini mendesak penghentian menggunakan kawasan hutan lindung sebagai wilayah kegiatan pertambangan, terutama yang tidak memiliki izin, mengingat fungsi kawasan hutan lindung sebagai penyangga kehidupan yang sangat penting. Di antaranya, mengatur tata air dan mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Komite II DPD mendesak penindakan yang tegas terhadap kegiatan penambangan yang ilegal dan tidak mereklamasi lahan bekas penambangan. “Yang membentuk mata rantai bisnis yang merugikan perekonomian masyarakat sekitarnya,” katanya. Penambangan ilegal yang memarak adalah tanggungjawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perusahaan pertambangan seperti PT Timah (Persero) Tbk yang tidak menjamin hidup masyarakat di sekitarnya.
Sembari mencabut izin usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan kawasan hutan lindung, Pemerintah menata ulang izin KP yang memperhatikan prinsip otonomi daerah dan peraturan perundang-undangan serta mengembalikan hak-hak tenurial (penguasaan) sumberdaya alam yang mempertimbangkan kearifan lokal.
Kemudian, perusahaan pertambangan yang selesai melakukan kegiatannya dapat mengembalikan fungsi hutan. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan, reklamasi kawasan hutan bekas areal pertambangan wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008, reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Apalagi, ada ketentuan PP tersebut yang merisaukan, yaitu Pasal 49 ayat (4) yang mengatur tata cara pelepasan dana jaminan reklamasi. “Istilahnya, pinjam pakai. Selesai digunakan, hutan dikembalikan sesuai dengan fungsinya,” katanya.
Pengusahaan pertambangan yang, antara lain, berbentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk perusahaan pertambangan berskala besar yang polanya adalah pertambangan terbuka kian mempercepat deforestasi di provinsi-provinsi tersebut. Umumnya, hutan bekas lahan pertambangan terbuka itu sangat rusak, sehingga pemulihannya juga sangat sulit.
“Lalu, dana reklamasi digunakan ke mana?” tanya lelaki kelahiran Banyuwangi, 24 September 1962, ini. Karena ketidakjelasan reklamasi kawasan hutan bekas areal pertambangan itu, ia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk menyelidiki dan menyidiki penggunaan dana reklamasinya. “Kami mendesak KPK untuk menanyakan dana itu,” ujarnya. Pengembalian kawasan hutan bekas areal pertambangan ini sangat bergantung kepada keberhasilan reklamasinya.
Di sisi lain, Kementerian Kehutanan didesak tidak lagi mengeluarkan izin pemanfaatan kawasan hutan di luar sektor kehutanan yang diajukan perusahaan dan pemerintah daerah. Dia berpendapat, program reklamasi hutan oleh perusahaan pertambangan hingga kini tidak jelas pelaksanaannya, sehingga yang tertinggal adalah daerah-daerah tandus. Reklamasi tidak bagus, reboisasi juga tidak bagus.”

Khusus kasus pertambangan di Bangka Belitung yang melibatkan PT Timah (Persero) Tbk, KPK juga didesak menyelidiki dan menyidiki penggunaan dana jaminan reklamasinya. “Padahal, PT Timah sudah bercokol di sana sejak kita belum lahir,” kata lulusan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, ini. “Dengan adanya PT Timah di sana selama bertahun-tahun, muncul ketidakadilan.”
Bambang juga menyoroti saling klaim areal pertambangan antara PT Timah (Persero) Tbk dengan perusahaan-perusahaan yang kuasa penambangan atau KP-nya dikeluarkan bupati di Bangka Belitung. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang belum selesai adalah kesempatan bagi mereka.“PT Timah mencaplok kawasan hutan lindung, bersama perusahaan pertambangan yang KP-nya dikeluarkan bupati.”
Bahar menambahkan, ketimbang menyesali kerusakan lingkungan, lebih baik kita mencari sumber-sumber perekonomian alternatif pascatimah. “Kerusakan lingkungan harus dicegah. Tapi, mulai sekarang kita harus berbicara bagaimana membangun ekonomi alternatif pascatimah. Harus ada solusi, jangan ribut saja,” ujarnya. Mengalihkan perhatian menuju perekonomian alternatif dimaksud adalah menggali potensi sektor pertanian dan perkebunan, perikanan dan kelautan, serta pariwisata.
Karena mengkhawatirkan kerusakan kawasan hutan lindung, Komite II DPD memutuskan untuk membentuk tim khusus untuk mengawasi pertambangan yang merusak lingkungan. “Dalam waktu dekat tim tersebut akan terjun ke lokasi penambangan timah di Bangka Belitung, yang lingkungannya rusak parah,” katanya. Saat ini, tim khusus mengumpulkan informasi kerusakan lingkungan agar saat tim khusus berkerja efektif dan efisien.

Menteri-menteri terkait, seperti Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menhut, Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH), Menteri Keuangan (Menkeu), bersama bupati, walikota, dan gubernur di Bangka Belitung harus mencarikan alternatif sumber-sumber perekonomian pasca-pertambangan. “Kalau terus-terusan ditambang, Bangka Belitung bisa tenggelam. Mereka harus satu meja mencari alternatif, misalnya perikanan, kelautan, pertanian, perkebunan, pariwisata.”
Budi Doku mengatakan, pihaknya akan meneliti kepastian luas (hektar) Kuasa Penambangan (KP) yang dimiliki PT Timah, PT Koba Tin, dan beberapa perusahaan pemegang KP lainnya agar diperoleh kepastian jumlah dana jaminan reklamasi yang seharusnya digunakan untuk merehabilitasi lahan eks pertambangan. “Kemana dananya, kok lingkungan rusak seperti itu?” tanyanya.
“Masalah dana ini menarik untuk ditelusuri. Karena itu, kalau datanya cukup, kami akan mengundang Kapolri dan KPK untuk membahasnya,” tegasnya, seraya menekankan masalah lain yang juga harus disorot, yaitu informasi perihal uang keluar dari Bangka Belitung Rp 10 miliar per bulan. Uang itu berasal dari aktivitas penyelundupan timah.
Menurut Bambang, kerusakan hutan di Bangka Belitung tidak terlepas dari ketidakjelasan RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi). Untuk itu, Komite II DPD mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah segera merampungkannya. “RTRWP itu cetak biru. Selain berguna untuk pembangunan, RTRWP ini menjadi panduan wilayah mana yang tidak boleh diganggu dan mana yang boleh.”


ashur.staff.gunadarma.ac.id/.../Teori-Teori+Etika+Bisnis.ppt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar